Keyakinan dalam Buddhisme
From Wikipedia, the free encyclopedia
Dalam Buddhisme, keyakinan atau iman (bahasa Pali: saddhā, Sanskerta: śraddhā) mengacu pada iman kepada Tiga Permata dan Hukum Karma. Keyakinan juga dipandang sebagai komitmen untuk mempraktikkan ajaran Buddha. Umat Buddha pada umumnya mengakui beberapa objek keyakinan utama, tetapi beberapa aliran Buddhisme secara khusus membaktikan diri kepada tokoh tertentu. Keyakinan tak hanya berupa bakti terhadap suatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi karma, buah karma, dan kemungkinan mencapai kecerahan.
Terjemahan dari Keyakinan atau Iman | |
---|---|
Pali | saddhā |
Sanskrit | śraddhā |
Tionghoa | 信(T&S) (Pinyin: xìn) |
Jepang | 信 (rōmaji: shin) |
Korea | 믿음 (RR: sin-eum) |
Tibetan | དད་པ (Wylie: dad pa THL: dat pa) |
Bengali | শ্রাদ্ধের |
Thai | ศรัทธา (RTGS: satthaa) |
Vietnam | đức tin |
Sinhala | ශ්රද්ධ |
Daftar Istilah Buddhis |
Keyakinan atau iman dalam Buddhisme awal dan aliran Theravāda dipusatkan pada:[1][2]
- Tiga Permata (Tiratana)
- Iman kepada Buddha, yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini (Siddhattha Gotama), dan kedatangan calon Buddha (bodhisatta) masa depan; juga pencapaian Kebuddhaan-Nya di Nibbāna.
- Iman kepada Dhamma, yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
- Iman kepada Saṅgha, yaitu meyakini komunitas para pengikut yang dianggap maju secara spiritual atau komunitas rahib yang berupaya mencapai kecerahan.
- Hukum Karma (Kamma Niyāma)
- Iman kepada kamma, yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.
- Iman kepada buah kamma (vipāka atau phala), yaitu meyakini adanya akibat atau buah dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.
Secara tradisional, pernyataan iman ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada Tiga Permata dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisarana):
Buddhaṁ saranaṁ gacchāmi |
Aku berlindung kepada Buddha |
—Khuddakapāṭha 1, Khuddaka Nikāya |
Seorang umat awam dengan keyakinan terhadap Tiga Permata, kamma, dan buah kamma disebut upāsaka atau upāsika. Keyakinan dianggap sebagai langkah pertama menuju kebijaksanaan dan kecerahan. Sementara itu, agama Buddha awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada dewa-dewi. Sepanjang sejarah agama Buddha, pemujaan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan animis, kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Permata, yang masih terus memegang peran utama.
Pada masa berikutnya dalam sejarah agama Buddha, khususnya Buddha Mahāyāna, keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan bakti kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di Tanah Murni. Dengan berkembangnya bakti kepada Buddha Amitābha dan agama Buddha aliran Tanah Murni, keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik agama Buddha. Agama Buddha aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh Hōnen dan Shinran, bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah keyakinan penuh kepercayaan kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap selibasi, meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, umat Buddha Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan milenarian di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.
Dengan demikian, peran keyakinan terus meningkat sepanjang sejarah agama Buddha. Namun, semenjak abad ke-19, modernisme Buddhis di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang (dan juga di dunia Barat) cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam agama Buddha. Keyakinan dalam agama Buddha masih memiliki peran di Asia dan negara-negara Barat pada zaman modern, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda, dengan nilai-nilai modern dan eklektisisme menjadi lebih penting. Di sisi lain, komunitas Buddha Dalit, khususnya gerakan Nawayana, menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, dan dalam gerakan tersebut terdapat ketegangan antara rasionalisme modern dengan praktik kebaktian setempat.