Pertempuran Mogadishu (1993)
insiden militer PBB–Somalia, Oktober 1993 / From Wikipedia, the free encyclopedia
Pertempuran Mogadishu (bahasa Somali: Maalintii Rangers, har. 'Hari Para Rangers'), juga dikenal sebagai insiden Black Hawk Down, merupakan bagian dari Operasi Gothic Serpent. Peperangan ini berlangsung pada tanggal 3–4 Oktober 1993 di Mogadishu, Somalia, antara pasukan Amerika Serikat—didukung oleh UNOSOM II—melawan pasukan Aliansi Nasional Somalia (Somali National Alliance, SNA) dan warga sipil bersenjata di selatan Mogadishu.
Peperangan Mogadishu | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Operasi Gothic Serpent dan UNOSOM II | |||||||
Super Six-Four, salah satu dari dua Black Hawk yang ditembak jatuh di atas Mogadishu | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Amerika Serikat Malaysia Pakistan Didukung oleh: Perserikatan Bangsa-Bangsa | Aliansi Nasional Somalia | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Mohamed Farrah Aidid Sharif Hassan Giumale Ali Aden | |||||||
Kekuatan | |||||||
160 orang pasukan utama 3.000 orang pasukan penyelamat 19 pesawat terbang 16 helikopter 9 kendaraan utilitas 3 truk | 1.500–4.000 orang[1] | ||||||
Korban | |||||||
18 tewas 73 luka 1 tertangkap 2 helikopter hancur 1 tewas 9 luka 3 luka |
133 tewas (SNA)[2] 200 tewas 500 luka (termasuk warga sipil) (Palang Merah)[3] 300–500 tewas 2.000 luka (perkiraan lainnya)[4][5] |
Peperangan ini merupakan bagian dari Perang Saudara Somalia yang telah berlangsung selama dua tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada awalnya mengirimkan pasukan untuk meringankan bencana kelaparan di selatan Somalia. Akan tetapi, PBB mulai mencoba untuk menegakkan demokrasi dan memulihkan pemerintah pusat. Pada Juni 1993, pasukan pemelihara perdamaian PBB mengalami hari paling mematikan mereka ketika kontingen Pakistan diserang ketika sedang memeriksa gudang persenjataan SNA. UNOSOM II menyalahkan pemimpin SNA Mohamed Farrah Aidid, dan melancarkan pemburuan. Pada Juli 1993, pasukan AS di Mogadishu melakukan penggerebekan Abdi House (Abdi House raid) dengan tujuan mencari Aidid, dan penggerebekan tersebut menewaskan banyak sesepuh dan anggota terkemuka dari klan Aidid, Habr Gidr.[6][7] Penggerebekan tersebut menyebabkan banyak warga Mogadishu ikut melawan UNOSOM II, dan pada bulan berikutnya, Aidid dan SNA menyerang personel AS untuk pertama kalinya. Hal tersebut membuat Presiden Bill Clinton mengerahkan Satuan Tugas Ranger (Task Force Ranger) untuk menangkap Aidid.[8][9][10]
Pada 3 Oktober 1993, pasukan AS berencana untuk menangkap dua letnan tertinggi Aidid dalam sebuah pertemuan mereka di dalam kota. Penggerebekan tersebut hanya dimaksudkan untuk berlangsung selama satu jam, tetapi berubah menjadi standoff sepanjang malam dan diperpanjang oleh upaya penyelamatan hingga siang hari pada hari berikutnya. Saat tujuan operasi tersebut telah tercapai, hasilnya adalah kemenangan piris dan berujung dengan Peperangan Mogadishu yang mematikan.[11] Selama operasi berlangsung, pasukan Somalia menembak tiga helikopter Sikorsky UH-60 Black Hawk Amerika menggunakan RPG-7,[12] mengakibatkan dua helikopter jatuh di wilayah musuh. Dua helikopter yang jatuh tersebut mempertahankan diri sepanjang malam untuk melindungi para korban selamat dari kecelakaan tersebut. Pada pagi hari, konvoi kendaraan tempur lapis baja UNOSOM II bertempur menuju lokasi pasukan yang terkepung, lalu kembali, memperparah jumlah korban tewas dan luka, tetapi menyelamatkan para korban selamat.[13]
Sejak Perang Vietnam, tidak ada peperangan yang telah menewaskan begitu banyak pasukan AS.[14] Korban antara lain 18 tentara AS tewas dan 73 luka-luka,[15] dengan pasukan Malaysia satu tewas dan sembilan luka-luka, dan pasukan Pakistan tiga luka-luka.[16] Korban Somalia jauh lebih tinggi, termasuk warga sipil, perkiraan antara 315 dan 2.000 tewas.[13]
Setelah peperangan tersebut, tentara AS yang tewas diseret di sepanjang jalanan di Mogadishu oleh warga Somalia yang marah, aksi tersebut disiarkan di televisi Amerika yang menimbulkan kecaman publik. Peperangan tersebut berujung pada penarikan misi PBB setelah 1995. Ketakutan akan berulangnya kejadian tersebut membuat AS enggan untuk meningkatkan keterlibatannya di Somalia dan daerah lain. Beberapa pengamat mengatakan bahwa hal tersebut memengaruhi keputusan Administrasi Clinton untuk tidak campur tangan dalam mencegah genosida Rwanda, dan umumnya telah dirujuk sebagai "Sindrom Somalia" (Somalia Syndrome).[17][18][19][20]